وَعَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ الْخَبَثَ
وَفِي لَفْظٍ لَمْ يَنْجُسْ أَخْرَجَهُ الْأَرْبَعَةُ وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ وَالْحَاكِمُ
وَابْنُ حِبَّانَ
Dari Abdullah Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Jika banyaknya air telah
mencapai dua kullah maka ia tidak mengandung kotoran." Dalam suatu lafadz
hadits: "Tidak najis".
Dikeluarkan oleh Imam Empat dan dinilai shahih oleh Ibnu
Khuzaimah, Hakim, dan Ibnu Hibban.
Derajat
hadits:
Hadits ini shahih, dinamakan
juga dengan hadits qullatain (dua kullah).
Para ulama berbeda pendapat mengenai
keshahihan hadits ini, sebagian ulama menghukumi hadits ini dengan syadz
(nyeleneh) pada sanad dan matannya.
Syadz pada matannya dari segi
bahwa hadist ini tidak, masyhur padahal kandungan hadits ini sangat dibutuhkan,
seharusnya dinukil secara masyhur, namun hal ini tidak. Dan tidak ada
yang meriwayatkan hadits ini kecuali Ibnu Umar saja.
Adapun segi idhtirob (simpang
siur) pada matan, yaitu adanya sebagian riwayat “jika air mencapai dua
kullah”, ada juga “jika air mencapai tiga kullah”, ada juga “jika
air mencapai empat puluh kullah”. Ukuran kullahpun tidak diketahui,
dan mengandung pengertian yang berbeda-beda.
Adapun ulama yang membela hadits ini
dan mengamalkannya seperti Imam Asy Syaukani, beliau berkata, “telah dijawab
tuduhan idhtirob (simpang siur) dari segi sanad bahwa selagi terjaga di
seluruh jalur periwayatannya, maka tidak bisa dianggap idhtirob (simpang
siur), karena hadits tersebut dinukil oleh yang terpercaya kepada yang
terpercaya. Al Hafidz berkata, “Hadits ini memiliki jalur periwayatan dari Al
Hakim dan sanadnya dikatakan baik oleh Ibnu Ma’in.” Adapun tuduhan
idhtirob dari segi matan, maka sesungguhnya riwayat “tiga” itu
syadz, riwayat “empat puluh kullah” itu mudhtorib, bahkan
dikatakan bahwa kedua riwayat tersebut maudhu’, dan riwayat “empat
puluh” di-dho’ifkan oleh Ad Daruqtni.
Syaikh Al Albani berkata, “hadits
ini shahih”, diriwayatkan oleh lima imam bersama Ad Darimi, At Thohawi, Ad
Daruquthni, Al Hakim, Al Baihaqi, Ath Thoyalisi dengan sanad yang shahih.
Ath Thohawi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu
Hibban, Adz Dzahabi, An Nawawi, Al Asqolaani menshahihkan hadits ini, dan sikap
sebagian ulama yang mencacati hadits ini dengan idhtirob (simpang siur)
tidaklah dapat diterima.
Ibnu Taimiyah berkata, “kebanyakan
ulama menghasankan hadits ini dan menjadikannya sebagai hujjah (dalil), mereka
telah membantah perkataan yang mencela hadits ini”
Diantara ulama yang menshahihkan
hadits ini adalah Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Ibnu Mandzah, At Thohawi, An
Nawawi, Adz Dzahabi, Ibnu Hajar, Asy Suyuthi, Ahmad Syakir, dll.
Kosa kata:
- Kata قلتين (qullataini) = dua kullah.
Dua kullah sama dengan 500 ritl irak, dan 1 ritl irak sama dengan 90 misqol.
Dengan takaran kilo, dua kullah sama dengan 200 kg.
- Kata لم
يحمل الخبث (lam yahmil khobats), yaitu
tidak dicemari oleh kotoran (najis), maknanya adalah air tidak ternajisi dengan
masuknya najis ke dalamnya, jika air tersebut mencapai dua kullah. Dikatakan
juga bahwa maksudnya adalah air tersebut dapat melarutkan (menghilangkan) najis
yang masuk ke dalamnya, sehingga air tersebut tidak ternajisi.
- Kata الخبث (khobats) adalah
najis.
Faedah hadits:
1. Jika air mencapai dua kullah,
maka air tersebut dapat menghilangkan najis (dengan sendirinya) sehingga najis
tidak memberi pengaruh, dan inilah makna tersurat dari hadits
tersebut.
2. Dipahami dari hadits tersebut
bahwa air yang kurang dari dua qullah, terkadang terkontaminasi oleh najis
dengan masuknya najis sehingga air tersebut menjadi ternajisi, tetapi terkadang
tidak menjadi ternajisi dengannya.
3. Ternajisi atau tidaknya air
bergantung pada ada atau tidaknya zat najis di dalamnya, jika najis tersebut
telah hancur dan larut, maka air tersebut tetap pada kesuciannya.
Perbedaan pendapat
ulama:
> Imam Abu Hanifah, Asy Syafi’i, dan
Ahmad, serta pengikut madzhab mereka, berpendapat bahwa air yang sedikit menjadi
ternajisi dengan masuknya najis, walaupun najisnya tidak mengubah sifat
air.
Sedikitnya air menurut Abu Hanifah
adalah air yang jika digerakkan di satu ujung wadahnya, maka ujung lainnya juga
ikut bergerak.
Adapun sedikitnya air menurut
madzhab Syafi’i dan Ahmad (Hanabilah) adalah air yang kurang dua
kullah.
> Imam Malik, Az Zhohiriyyah,
Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, ulama-ulama
salafiyah di Nejd, dan para muhaqqiqin berpendapat bahwa air tidak menjadi
ternajisi dengan masuknya najis selama salah satu dari tiga sifat air (rasa,
warna, dan bau) tidak berubah.
Para ulama yang mengatakan bahwa air
dapat ternajisi dengan sekedar masuknya najis berdalil dengan pemahaman hadits
Ibnu Umar ini. Pemahamannya menurut mereka bahwa air yang kurang dari dua kullah
akan mengandung kotoran [najis]. Di dalam satu riwayat, “jika (air) mencapai dua
kullah, maka tidak ada sesuatupun yang dapat menajiskannya”. Maka pemahamannya
bahwa air yang kurang dari dua kullah menjadi ternajisi dengan sekedar masuknya
najis, sebagaimana mereka berdalil dengan hadits tentang perintah menumpahkan
air pada wadah yang dijilati oleh anjing tanpa memperdulikan tentang perubahan
sifat air nya.
Hadits qullatain (dua kullah) tidak
bertentangan dengan pendapat Abu Hanifah, sebab air seukuran dua kulah jika
diisi dalam suatu wadah, maka air di salah satu ujung wadah tidak bergerak
dengan bergeraknya ujung lainnya.
Adapun dalil- dalil para ulama yang
tidak memandang sebagai air yang ternajisi kecuali dengan perubahan sifat,
diantaranya hadits qullataini ini, sesungguhnya makna hadits tersebut adalah air
yang mencapai dua kullah tidak ternajisi dengan sekedar masuknya najis, karena
air yang mencapai dua kullah tersebut tidak mengandung kotorang [najis] dan
dapat menghilangkan najis-najis di dalamnya.
Adapun pemahaman hadits tersebut,
tidak lazim demikian, sebab terkadang air menjadi ternajisi jika najis mengubah
salah satu sifat air, dan terkadang air tidak ternajisi. Sebagaimana mereka juga
berdalil dengan hadits tentang menuangkan seember air pada air kencing Arab
Badui dan dalil lainnya.
Ibnul Qoyyim berkata, “yang dituntut
oleh prinsip dasar syariat adalah : jika air tidak berubah sifatnya oleh najis
maka air tersebut tidak menjadi ternajisi, hal itu karena air tetap dalam sifat
alaminya, dan air yang seperti ini termasuk yang thoyyib (baik) dalam firman
Allah, ((dan dihalalkan bagi mereka yang baik-baik)). Ini dapat diqiyaskan
terhadap seluruh benda cair, jika terkena najis dan tidak mengubah warna, rasa,
dan bau.