Wednesday, June 12, 2013 0 komentar

Pulsa Gratis Dari mcent.com

Assalamu'alaikum..,

Kali ini saya akan membagikan info tentang pulsa gratis dari mcent, caranya sangat mudah, sobat cuma tinggal ikuti petunjuk dari mcent.com

Sekian dulu info dari saya, wassalamu'alaikum..,
Tuesday, June 4, 2013 0 komentar

Perkembangan Agama Pada Manula & Perlakuan Terhadapnya Menurut Islam



BAB I
Pendahuluan

  1. Latar Belakang Maslah
Sebagai mana yang telah kita ketahui Psikologi Agama meneliti dan menalaah kehidupan beragama pada seseorang dan mempelajari berapa besar pengaruh keyakinan agama itu dalam sikap dan tingkah laku, serta keadaan hidup pada umumnya.
Dalam suatu periode hidup manusia, terdapat fase-fase tertentu yang harus dilewati salah satu fase yang paling sering dibicarakan dan menarik perhatian para psikolog adalah fase lanjut usia (manula). Hal ini dikarenakan timbulnya karakter dan kebiasaan unik yang dimilki oleh seseorang ketika memasuki usia lanjut yaitu berkisar antara umur 65-100 tahun atau sampai meninggal. Perkembangan agama pada manula & perlakuan terhadapnya menurut islam, akan dipaparkan secara singkat dalam makalah ini.
  1. Rumusan Masalah
Dari latar belakang permasalahan diatas penulis dapat diperolah rumusan masalah sebagai berikut :
1.      Apakah pengertian manula itu?
2.      Bagaimana perkembangan agama pada manula?
3.      Bagaimana perlakuan terhadap manula menurut islam?



BAB II
Perkembangan Agama Pada Manula & Perlakuan Terhadapnya Menurut Islam
  1. Pengertian Manula
Dalam kamus besar bahasa indonesia manula/ jompo berarti “tua sekali atau sudah lemah fisiknya, tua renta, atau uzur”.[1]Manula dalam penilaian banyak orang adalah manusia yang sudah tidak produktif lagi, kondisi fisik rata-rata sudah menurun, sehingga dalam kondisi yang sudah uzur ini berbagai penyakit siap untuk menggerogoti mereka. Kondisi di usia tua menyebabkan manusia usia lanjut senantiasa dibayang-bayangi oleh perasaan tak berdaya dalam menghadapi kematian. Dan rasa takut akan kematian ini semakin meningkat pada usia tua (Robert H. Thouless, 1992: 116).[2]
  1. Perkembangan Agama Pada Manula
Garizatu at-tadayyun (insting beragama) atau garizatu at-taqdis (instins pensrakalan) merupakan insting bawaan sebagai karakter inheren penciptaan yang pemanen. Insting ini ditandai ada perasaan lemah pada dirinya. Perasaan lemah ini meskipun ditutup-tutupi dengan berbagai potensi lainnya seperti potensi mempertahankan diri, tetapi tetap muncul, sebab kelemahan manusia merupakan fitrah pula, sebagaimana firmannya:
.......وَخُلِقَ الإنْسَانُ ضَعِيفًا (٢٨)
Artinya: .......“dan manusia dijadikan bersifat lemah”. (QS. An-nisa’: 28).
Memang terkadang muncul perasaan kuat, tetapi sifatnya sementara, manusia diliputi keadaan lemah baik perubahan fisik, dan psikis ketidak berdayaannya mempertahankan umurnya sendiri dan perubahan sel-sel yang menua. Indikasi ini dapat kita saksikan pada ayat berikut:
اللَّهُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفًا وَشَيْبَةً يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَهُوَ الْعَلِيمُ الْقَدِيرُ (٥٤)
Artinya: Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari Keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah Keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah yang Maha mengetahui lagi Maha Kuasa. (QS. Ar-rum: 54).
            Dari perasaan lemah yang permanen itu muncul keinginan manusia untuk tergantung pada sesuatu dan ketergantungan itu dapat berwujud pada perilaku membutuhkan sesuatu pada dirinya yang kuat, semacam “hero”, ingin mengagungkan sesuatu, mengabdikan pada diri kepada yang dianggap memiliki kekuatan, atau mensakralkan sesuatu.[3]
Pada usia lanjut, yaitu setelah usia diatas 65 tahun manusia akan menghadapi sejumlah permasalahan. Permasalahan pertama adalah penurunan kemampuan fisik hingga kekuatan fisik berkurang, aktivitas menurun, sering menglami gangguan kesehatan yang menyebabkan mereka kehilangan semangat. Pengaruh dari kondisi penurunan kemampuan fisik ini menyebabkan mereka yang berada pada usia lanjut merasa dirinya sudah tidak berharga atau kurang dihargai. Hasil penelitian neugartten (1971) masalah utama yang dihadapi manusia usia lanjut antara 70 – 79 tahun menunjukkan 75 persen dari mereka yang dijadikan responden menyatakan puas dengan status mereka sesudah menginjak masa beban tugas. Sebagian besar mereka menunjukkan aktivitas positif dan tidak merasa dalam keterasingan dan hanya sedikit yang sudah berada dalam kondisi uzur serta mengalami gangguan kesehatan mental. Namun, umumnya mereka dihadapkan pada konflik batin antar keutuhan dan keputusan. Karena itu mereka cenderung mengingat sukses masa lalu, sehingga umumnya mereka yang berada pada tingkat usia lanjut ini senang membantu para remaja yang aktif dalam kegiatan – kegiatan social, termasuk social keagamaan.
            Kehidupan keagamaan pada usia lanjut ini menurut hasil penelitian psikologi agama ternyata meningkat. M . argyle mengutip sejumlah penelitian yang dilakukan oleh cavan  yang mempelajari 1200 orang sampel berusia antara 60 – 100 tahun. Temuan ini menunjukkan secara jelas kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan yang semakin meningkat pada umur – umur ini. Sedangkan, pengakuan terhadap realitas tentang kehidupan akhirat baru muncul sampai 100 % setelah usia 90 tahun.
            Dalam banyak hal, tak jarak para ahli psikologi menghubungkan kecenderungan peningkatan kehidupan keagamaan dengan penurunan kegairahan seksual. Menurut pendukung pendapat ini manusia usia lanjut mengalami frustasi dibidang seksual, sejalan dengan penurunan kemampuan fisik dan frustasi semacam itu dinilai sebagai satu-satunya factor yang membentuk sikap keagamaan. Tetapi menurut Robert H.Thoules, pendapat tersebut berlebih-lebihan. Sebab katanya, hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun kegiatan seksual secara biologis boleh jadi sudah tidak ada lagi pada usia lanjut, namun kebutuhan untuk mencintai dan mencintai tetap ada pada usia tua itu.[4]
  1. Perlakuan Terhadap Manula Menurut Islam
Manusia usia lanjut dipandang tak ubahnya seorag bayi yang memerlukan pemeliharaan dan perawatan serta perhatian khusus dengan penuh kasih sayang. Perlakuan yang demikian itu tidak dapat diwakilkan kepada siapapun, melainkan menjadi tanggung jawab anak – anak mereka. Perlakuan yang baik dan penuh kesabaran serta kasih sayang yang dinilai sebagai kebaktian. Sebaliknya, perlakuan yang tercela dinilai sebagai kedurhakaan.
Adapun dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadits berkenaan dengan perlakuan kepada orang tua diantaranya sebagai berikut:

وَقَضَى رَبُّكَ أَلا تَعْبُدُوا إِلا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاهُمَا فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلا كَرِيمًا (٢٣) وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا (٢٤)
Artinya: Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia (23). Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil" (24). (QS. Al-Isra’: 23-24)
Selain itu, kita juga dapat melihat bagaimana seharusnya perilaku anak kepada orang tua, dalam pernyataan Aisyah r.a. yakni dalam dialog rasulullah Saw. Kepada seorang laki-laki. Rasul bertanya: “Siapakah yang bersamamu? Orang itu menjawab: “ayahku”. Beliau berkata: “jangan berjalan di depannya dan jangan duduk sebelum dia, jangan memanggilnya dengan namanya dan jangan berbuat sesuatu yang menyebabkan orang lain memakinya”. (Thoha Abdullah Al-Afifi: 1987:51).[5]
Penjelasan ini menunjukkan bahwa perlakuan terhadap manusia usia lanjut menurut islam merupakan kewajiban agama, maka sangat tercela dan dipandang durhaka bila seorang anak tega menempatkan orangtuanya di tempat penampungan atau panti jompo. Alasan apapun tak dapat diterima bagi perlakuan itu.
BAB III
Penutup

  1. Kesimpulan
Manula dalam penilaian banyak orang adalah manusia yang sudah tidak produktif lagi, kondisi fisik rata-rata sudah menurun, sehingga dalam kondisi yang sudah uzur ini berbagai penyakit siap untuk menggerogoti mereka.
Masa usia lanjut menunjukkan secara jelas kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan yang semakin meningkat pada umur 60-100. Sedangkan, pengakuan terhadap realitas tentang kehidupan akhirat baru muncul sampai 100 % setelah usia 90 tahun.
Manusia usia lanjut dipandang tak ubahnya seorag bayi yang memerlukan pemeliharaan dan perawatan serta perhatian khusus dengan penuh kasih sayang. Perlakuan yang demikian itu tidak dapat diwakilkan kepada siapapun, melainkan menjadi tanggung jawab anak – anak mereka. Perlakuan yang baik dan penuh kesabaran serta kasih sayang yang dinilai sebagai kebaktian. Sebaliknya, perlakuan yang tercela dinilai sebagai kedurhakaan.
  1. Saran
Hendaknya sebagai generasi islam kita dapat menghormati orang tua/ Manula yang telah mengalami perkembangan sampai tahap akhir yaitu berakibat melemahnya fisik dan psikisnya, karena sesungguhnya perlakuan baik terhadap manusia usia lanjut menurut islam merupakan kewajiban agama.
Pembahasan dalam makalah yang telah kami susun ini mungkin masih kurang sempurna. Oleh karena itu penulis masih membutuhkan saran dan perbaikan dari para pembaca.

Daftar Pustaka

DEPDIKNAS. 2007.  Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cet: 7.  Jakarta: Balai Pustaka.
Jalaluddin. 2012. Psikologi Agama. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Purwanto, Yadi. 2007. Psikologi kepribadian: Integrasi Nafsiyah dan ‘Aqliyah Perspektif Psikologi Islam.  Bandung: PT. Refika Aditama.


[1] DEPDIKNAS, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), cet: 7, Hlm: 476
[2] Prof. Dr. H. Jalaluddin,  Psikologi Agama, ( Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2012), hlm. 115
[3] Drs. Yadi Purwanto, MM.Psi., Psikologi kepribadian: Integrasi Nafsiyah dan ‘Aqliyah Perspektif Psikologi Islam, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2007), hlm: 114-115
[4]Prof. Dr. H. Jalaluddin,  Op. Cit, hlm. 110-111
[5] Ibid, hlm. 118-119
Friday, May 24, 2013 0 komentar

KURIKULUM 2013; ANTARA SIKLUS DENGAN PROGRESIVITAS PERUBAHAN



Ganti menteri, ganti kebijakan. Itulah pemeo yang sering kita dengar ketika menilik perkembangan kurikulum pendidikan yang berlaku di Indonesia. Sejak bangsa kita berhasil lepas dari cengkeraman kolonial enam puluh delapan tahun silam, sejak itu pula sejarah mencatat sembilan kali[i] terjadinya perubahan kurikulum dengan berbagai terminologinya sebagai interpretasi atas amanat Pembukaan Undang Undang Dasar (UUD) 1945 alinea IV; mencerdaskan kehidupan bangsa.
Term “perubahan”, sebagaimana spesifikasi yang dilakukan oleh Munzir Hitami, tidak pernah lepas dari dua sifat yang melekat pada kata tersebut, yakni perubahan yang bersifat siklikal (cyclic change) dan perubahan yang bernuansa progress.[ii] Ilustrasi sederhana dari perubahan siklikal ialah seperti kita sedang menonton atlet lomba lari 400 m. Perpindahan sang atlet mulai dari titik start sampai ke garis finish dengan menempuh rute lapangan yang berbentuk melingkar meniscayakan proses “perubahan posisi”, meskipun faktanya, atlet tersebut tidak pernah berpindah atau keluar dari rute tempuh yang telah ditetapkan oleh panitia lomba. Perubahan siklikal juga dapat kita lihat pada sistem tata surya di mana planet selalu bergerak mengelilingi matahari melalui orbit masing-masing. Walaupun proses perpindahan planet ini berlangsung secara terus menerus, namun tidak pernah meninggalkan garis edar yang selalu tetap. Sedangkan perubahan progres bagaikan kita menaiki anak tangga yang terus meninggi. Kita tidak akan pernah berhenti, apalagi kembali, sebelum mencapai titik puncak yang menjadi tujuan.
Dua pendekatan inilah yang akan menjadi alat analisis penulis dalam menguraikan diskursus Kurikulum 2013. Dalam dunia pendidikan, kurikulum (Syarifudin Nurdin dan M. Basyirudin Usman, 2002) bisa diartikan secara sempit yang hanya membatasi sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau diselesaikan siswa di sekolah atau perguruan tinggi, juga bisa dimaknai secara luas yang tidak terbatas pada mata pelajaran saja, tetapi lebih dari itu yakni merupakan aktivitas apa saja yang dilakukan sekolah dalam rangka mempengaruhi anak dalam belajar untuk mencapai suatu tujuan, termasuk di dalamnya kegiatan belajar mengajar, mengatur strategi dalam proses belajar, cara mengevaluasi program pengembangan pelajaran dan sebagainya.[iii]
Kurikulum 2013 yang secara bertahap akan diberlakukan oleh pemerintah di setiap jenjang pendidikan formal pada Tahun Pelajaran 2013/2014[iv], terlepas dari berbagai polemik yang berkembang, mau tidak mau harus disambut mesra oleh setiap elemen yang berkecimpung di bidang pendidikan. Terutama bagi para teorisi, kritikus, dan praktisi.
Dalam telaah singkat ini, penulis akan fokus pada kajian Standar Kompetensi Lulusan (SKL) dan pendekatan terhadap struktur mata pelajaran sebagai unsur pembentuk Kurikulum 2013 yang akan diterapkan di jenjang SD dan SMP, sekaligus mengesampingkan pembahasan lain seperti standar isi, proses, dan penilaian yang sebenarnya juga sangat vital untuk dibincangkan lebih lanjut.
Dalam materi “Bahan Uji Publik Kurikulum 2013” dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terdapat beberapa elemen perubahan dalam SKL Kurikulum 2013 jika dibandingkan dengan kurikulum-kurikulum sebelumnya.
Elemen kompetensi lulusan di tingkat SD dan SMP mengidealkan adanya peningkatan dan keseimbangan soft skills dan hard skills yang meliputi tiga aspek kompetensi -yang oleh Benjamin S. Bloom diistilahkan sebagai- sikap (afektif), keterampilan (psikomotorik), dan pengetahuan (kognitif). Perbedaan yang menonjol antara Kurikulum 2013 dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) terletak pada aspek kompetensi pengetahuan.  KTSP mendahulukan domain kompetensi pengetahuan atas kompetensi sikap dan keterampilan, sedangkan Kurikulum 2013 “seolah” lebih mengutamakan aspek kompetensi sikap daripada keterampilan, dan pengetahuan. Penulis berani menggunakan kata “seolah”, karena Kurikulum 2013, selain belum teruji praksis di setiap satuan pendidikan sehingga “garansi” keberhasilan pengutamaan kompetensi sikap di atas kompetensi lainnya belum terbukti, juga dihadapkan pada problem yang dialami pendidik ketika memasuki wilayah implementasi penilaian atas peserta didik sebagai hasil capaian kompetensi tersebut. Ringkasnya, penilaian kompetensi lulusan yang berangkat dari Taksonomi Bloom ini belum mampu dikuasai sepenuhnya oleh pendidik dalam setiap jenjang satuan pendidikan.
Dipandang dari segi elemen kedudukan mata pelajaran (isi), Kurikulum 2013 menjadikan kompetensi yang ingin dicapai oleh peserta didik yang semula diturunkan dari mata pelajaran, berubah menjadi mata pelajaran yang dikembangkan dari kompetensi. Dengan kata lain, muara dari setiap proses pembelajaran berasal dari kompetensi yang ingin dicapai peserta didik kemudian dikembangkan oleh pendidik dalam setiap mata pelajaran. Sedangkan Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) di dalam KTSP, merupakan hasil turunan dari setiap mata pelajaran sehingga tidak memungkinkan bagi pendidik untuk mengintegrasikan SK dan KD dari mata pelajaran yang satu ke mata pelajaran yang lain.
Dilihat dari elemen pendekatan terhadap struktur mata pelajaran di jenjang SD, Kurikulum 2013 menggunakan pengembangan metode tematik-integratif dalam semua mata pelajaran yang difokuskan pada alam, sosial, dan budaya dengan pendekatan sains. Akibat dari perubahan pola pendekatan pembelajaran ini, beban jam pelajaran bertambah menjadi 4 jam per minggunya, meskipun ada pengurangan jumlah mata pelajaran dari 10 menjadi 6.  
Adapun di jenjang SMP, Kurikulum 2013 menjadikan TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) sebagai media bagi seluruh mata pelajaran. Sedangkan TIK dalam KTSP berwujud mata pelajaran tersendiri dengan alokasi waktu 2 jam per minggu. Jumlah mata pelajaran juga mengalami pengurangan dari 12 menjadi 10, namun beban jam belajar menjadi bertambah sebanyak 6 jam per minggunya akibat perubahan pola pendekatan pembelajaran.
Dari gambaran di atas, elemen kompetensi lulusan di tingkat SD dan SMP pada Kurikulum 2013, -menurut hemat penulis- mengalami perubahan yang bersifat siklikal, karena sejatinya orientasi KTSP pun sudah tertuju pada peningkatan tiga domain Taksonomi Bloom. Jika terjadi kendala, terutama bagi pendidik, dalam upaya mengendapkan tiga kompetensi ini ke dalam diri peserta didik, solusi yang ditawarkan tidak harus dengan merubah konsep kurikulum secara frontal. Pemerintah sudah semestinya mendesain agenda-agenda intensif yang mengarah kepada peningkatan mutu pendidik misalnya dengan melakukan bimbingan dan pelatihan supaya profesionalisme kerja mereka tidak hanya bersandarkan kepada kualifikasi akademik (baca: ijazah) an sich, tetapi juga setimpal dengan standar kompetensi pendidik yang termaktub dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen yang mencakup kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.
Perubahan progres terletak pada elemen kedudukan mata pelajaran (isi) Kurikulum 2013 yang menuntut pendidik untuk siap berkreasi dengan metode-metode pembelajaran inovatif sebagai upaya integrasi semua mata pelajaran  yang selama ini masih terkesan parsial dan terpisah. Tidak adanya mata pelajaran TIK di SMP, bukan berarti membuat pendidik berleha-leha untuk tidak bersentuhan dengan alat teknologi yang mendukung kesuksesan proses pembelajaran. Sebaliknya,  setiap pendidik berpeluang besar memanfaatkan alat teknologi yang sejauh ini masih didominasi oleh guru pengampu mapel TIK.
Akhir kalam, “Selamat datang Kurikulum 2013! Sampai jumpa KTSP!”.

 
Oleh: Ahmad Saefudin, S.Pd.I

[i] Dimulai pada tahun 1947 dengan istilah Rencana Pelajaran, Rencana Pelajaran Terurai (1952), Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, Kurikulum 1984 atau CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif), Kurikulum 1994 dan Suplemen 1999, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) Tahun 2004, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Tahun 2006, dan  Kurikulum 2013. Sembilan Kali Kurikulum Pendidikan Berubah”, http://blog.tp.ac.id/pelaksanaan-kurikulum-pendidikan-di-indonesia.

[ii] Munzir Hitami, Revolusi Sejarah Manusia; Peran Rasul sebagai Agen Perubahan, (Yogjakarta: LkiS, 2009), cet. 1, hlm. 2.
[iii] Darwyn Syah, dkk., Perencanaan Sistem Pengajaran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), cet. 2, hlm. 11.
[iv] Berdasarkan sambutan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada peringatan Hari Pendidikan Nasional Tahun 2013 pada Kamis, 2 Mei 2013.

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Zudi Pranata. Powered by Blogger.
 
;