BAB I
PENDAHULUAN
- Latar belakang Masalah
Islam mengajarkan kepada umatnya agar dapat selalu tolong
menolong dalam menjalani kehidupan di dunia, dalam kenyataannya manusia tidak
dapat hidup sendiri karena Allah
menciptakan manusia makhluk yang berinteraksi sosial dan saling membutuhkan
satu sama lainnya.
Di tinjau dari
kehidupan selama ini ada yang memiliki kelebihan harta namun tidak memiliki
waktu dan keahlian dalam mengelola dan mengembangkannya, di sisi lain ada yang
memiliki kemampuan namun tidak memiliki modal. Dengan berkumpulnya dua jenis orang ini diharapkan dapat
saling melengkapi dan mempermudah pengembangan harta dan kemampuan tersebut.
Untuk itulah Islam memperbolehkan syarikat dalam usaha diantaranya Al
Mudharabah.
- Rumusan masalah
Dari latar belakang masalah diatas kali ini kita akan
membahas mudharabah, lebih jelasnya tentang mudharabah kita harus mengetahui
dan mepelajari hal-hal berikut:
1. Apa
pengertian mudharabah?
2. Apa dasar hukum
mudharabah?
3. Apa syarat mudharabah?
4. Apa rukun
mudharabah?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mudharabah
Mudharabah
pada asalnya”berjalan diatas bumi untuk berniaga” atau yang disebut juga Qiradh
yang arti asalnya saling mengutang. Mudhrabah mengandung arti”kerjasama dua
pihak yang satu diantaranya menyerahkan uang pada pihak lain untuk
diperdagangkan, sedangkan keuntungannya di bagi diantara keduanya menurut
kesepakatan”.
Sedangkan dalam istilah para ulama’ Mudhaarabah
memiliki pengertian: Pihak pemodal (Investor) menyerahkan sejumlah modal kepada
pihak pengelola untuk diperdagangkan. Dan berhak mendapat bagian tertentu dari
keuntungan. Serta
hasil usaha diperhitungkan sampai terputusnya hubungan kerja.
Disebut sebagai mudharabah karena
diambil dari kata dharb di muka bumi yang artinya melakukan perjalanan
yang umumnya untuk berniaga dan berperang, Allah berfirman:
عَلِمَ
أَنْ سَيَكُونُ مِنْكُمْ مَرْضَى وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ
يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَآخَرُونَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ
“Dia mengetahui bahwa akan ada di
antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi
mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang
di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Qur’an.” (Qs. Al Muzammil: 20)[1]
B. Dasar Hukum Mudharabah
Firman
Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ
تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً
عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama
suka diantara kamu.” (Qs. an-Nisa’: 29).
Dan tidak diragukan lagi bahwa mudharabah adalah salah satu
bentuk perniagaan yang didasari oleh asas suka sama suka, dengan demikian, akad
mudharabah tercakup oleh keumuman ayat ini.
Pada akad
mudharabah, asas keadilan benar-benar akan dapat diwujudkan dalam dunia nyata,
yang demikian itu dikarenakan kedua belah pihak yang terkait, sama-sama merasakan
keuntungan yang diperoleh. Sebagaimana mereka semua menanggung kerugian
bila terjadi secara bersama-sama, pemodal menanggung kerugian materi (modal),
sedangkan pelaku usaha menanggung kerugian non-materi (tenaga dan pikiran).
Sehingga pada akad mudharabah tidak ada seorangpun yang dibenarkan untuk
mengeruk keuntungan tanpa harus menanggung resiko usaha.[2]
Muamalah dalam bentuk mudharabah
disepakati oleh ulama’ tentang kebolehannya. Dasar kebolehannya itu adalah
berdasarkan pengalaman nabi yang memperniagakan modal yang diberikan oleh siti
khodijah sebelum beliau diangkat sebagai nabi. Dan kemudian ditetapkan sebagai
takrir setelah beliau menjadi nabi. Berdasarkan hadits riwayat oleh ibnu majah:
ثلاث فيهن البر كة: البيع الي اجل والمقارضة
وخلط البر بالشعير للبيت لا للبيع
Artinya:
tiga hal padanya terdapat berkah :jual beli dengan pembayaran kemudian,
muqaradhah (mudharabah) dan mencampur gandum dengan jelai untuk kepentingan
rumah tangga, bukan untuk jual beli.
Hikmah diperbolehkan muamalah dalam
bentuk mudharabah itu adalah memberikan kemudahan bagi pergaulan manusia dalam
kehidupamn dan keuntungan timbal balik tanpa
ada pihak yang dirugikan. [3]
C. Syarat Mudharabah
Agar akad mudharabah menjadi syah, maka disyaratkan beberapa
syarat baik dalam pelaku akad ,modal maupun laba.
1. Syarat-syarat pelaku akad
Hal-hal
yang disyaratkan dalam pelaku akad(pemilik modal dan mudharib) adalah keharusan
memenuhi kecakapan untuk melakukan wakalah. Hal itu karena mudharib
bekerja atas perintah pemilik modal dimana hal itu mengandung makna mewakilkan.
2. Syarat-syarat modal
- Modal
harus berupa uang yang masih berlaku,yaitu dinar dan dirham.
- Besarnya
modal harus diketahui. Jika besarnya modal tidak diketahui maka mudharabah
itu tidak syah,karena ketidak jelasan terhadap modal menyebabkan ketidak
jelasan terhadap keuntungan.
- Modal
harus barang tertentu dan ada,tidak hutang. Mudharabah tidak syah dengan
hutang dan modal yang tidak ada.[4]
D.
Rukun Mudharabah
v Menurut
ulama’ Syafi’iyah, rukun mudharabah ada lima yaitu:
1. Modal
2. Kerja
3. Laba
4. Sighah
5. Dan
pelaku akad
v Menurut
ulama’ Hanafiyah rukun mudharabah adalah
ijab dan qabul dengan lafal yang menunjukkan ijab dan qabul itu.
v Tetapi
menurut mayoritas ulama’, rukun mudharabah ada tiga yaitu:
1. Pelaku
akad atau (pemilik modal dan amil)
2. Ma’quud
‘alaih (modal kerja dan laba)
3. Sighah
(ijab dan qobul)[5]
E.
Jenis-Jenis
Mudharabah
Mudharabah
ada dua jenis yaitu muthalaqah dan muqoyyadah.
1.Mudharabah Muthalaqah
adalah seseorang yang memberikan modal kepada yang lain tanpa syarat tertentu. Atau
dapat pula seseorang memberikan modalnya secara akad mudharabah tanpa
menentukan pekerjaan, tempat, waktu, sifat pekerjaannya,dan siapa yang boleh
berinteraksi dengannya.
2. Mudharabah Muqayyadah
adalah akad mudharabah yang pemilik modal menentukan salah satu hal diatas.
F. Sah dan Tidaknya
Mudharabah
Mudharabah
dapat menjadi sah atau tidak yang masing-masing memiliki hukum tersendiri.
a. Hukum
mudharabah yang tidak sah
Jika
akad mudharabah tidak sah seperti jika seseorang berkata kepada yang lain “Berburulah
dengan jarring milik saya,dan hasil buruannya untuk kita berdua” maka menurut
ulama hanafiyah,syafi’iya dan hanabillah, mudharib tidak bisa mengerjakan
sesuatu dari yang dituntut dalam mudharabah yang sah.
b. Hukum-hukum
mudharabah yang sah
Hukum-hukum
tersebut banyak,diantaranya ada yang berkaitan dengan kekuasaan mudharib, ada
juga yang berkaitan dengan pekerjaannya, adapula yang berkaitan dengan hak
mudharib dari pekerjaan, dan ada yang berkaitan dengan hak pemilik modal dengan
modalnya.
G. Hal
Yang Membatalkan Mudharabah
Dalam menjalankan
mudharabah akad bisa batal karena:
1. Syarat yang ditentukan sudah tidak terpenuhi
2. Pekerja tidak lagi mampu melanjutkan usahanya
3. Salah satu pihak meninggal dunia.
.
BABA III
PENUTUP
A. Ksimpulan
Akad mudharabah adalah salah satu
hal yang mendatangkan manfaat dan tidak mendatangkan kerugian, atau manfaatnya
lebih besar bila dibanding madharat-nya. Dan fakta perniagaan yang dilakukan
oleh umat manusia secara umum dan kaum muslimin secara khusus merupakan bukti
nyata akan hal tersebut. Dengan demikian, akad mudharabah tercakup oleh
dalil-dalil umum yang menghalalkan kita untuk berniaga dan mencari keuntungan
yang halal, serta dalil-dalil yang menghalalkan segala hal yang bermanfaat atau
yang manfaatnya lebih besar dibanding madharat-nya.
Pada akad
mudharabah, asas keadilan benar-benar akan dapat diwujudkan dalam dunia nyata,
yang demikian itu dikarenakan kedua belah pihak yang terkait, sama-sama
merasakan keuntungan yang diperoleh. Sebagaimana mereka semua menanggung
kerugian bila terjadi secara bersama-sama, pemodal menanggung kerugian materi
(modal), sedangkan pelaku usaha menanggung kerugian non-materi (tenaga dan
pikiran). Sehingga pada akad mudharabah tidak ada seorangpun yang dibenarkan
untuk mengeruk keuntungan tanpa harus menanggung resiko usaha.
B. Saran
Sebaiknya pihak yang menjalin
hubungan kerjasama mudharabah mendapatkan keuntungan dalam bentuk materi,
pengalaman dan lainnya. Sehingga pada suatu saatnya nati, pihak yang menjalin hubungan kerjasama
dapat mengelola kekayaannya dengan sendiri.
Demikian makalah ini disajikan
mungkin pembahasan materi ini kurang sempurna, oleh karena itu penulis masih
membutuhkan saran dan kritikan dari pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Syarifudin, Amir. 2010. Garis-Garis Besar Fiqih. Jakarta: Kencana
Az-zuhaili, Wahab. 2011. Fiqih islam Wa Adillatuhu. Jakarta: Gema
insan
0 komentar:
Post a Comment